Tradisi karapan sapi Madura yang awalnya hanya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk kegembiraan usai panen, saat ini telah menjadi ajang eksploitasi dan penyiksaan terhadap binatang pemakan rumput ini demi kesenangan dan kebanggaan pemilik dan "pebotoh" pemasang taruhan.
Jika awalnya kerapan hanya menggunakan cambuk agar sapi-sapi itu mau berlari kencang, saat ini peralatan itu mulai ditinggalkan dan diganti tongkat penuh paku. Bahkan sebelum dipacu, sekujur badan dan mata sapi tersebut diolesi balsam, dikucuri spirtus dan cuka untuk menimbulkan sakit dan kemarahan sapi hingga dia berlari bagai mengamuk.
Dengus nafas sapi dan darah segar yang mengucur dari luka bekas cakaran tongkat berpaku sang joki silih berganti, kibasan ekor yang bergerak ke kiri dan kanan serta airmatanya yang mengalir, menggambarkan betapa binatang itu menahan sakit, perih dan panas yang amat sangat. Kesemuanya terbalut dengan teriakan pemilik, pebotoh, dan penonton yang kegirangan menyaksikan laju binatang yang sudah dipasangkan dengan "keleles" itu.
Bunyi tabuhan dan Sronen saling bersahutan mengiringi pasangan sapi juara yang diarak mengelilingi Stadion Soenarto Hadiwidjojo tempat pelaksanaan kerapan. Ribuan penonton, bersuka cita, menari mengikuti irama tabuhan dan sronen. Suasana itu sangat kontras dengan apa yang dialami sapi-sapi tersebut.
"Kegembiraan di atas kepedihan" mungkin merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi dalam setiap ajang karapan sapi yang sering di gelar di pulau garam tersebut.
Namun begitu, penderitaan selalu ada akhirnya. Penderitaan sang jawara segera berakhir ditangan sang jagal, ketika predikat pecundang telah disandangnya.
Foto dan Teks: Saiful Bahri