Kepeng hingga kini masih dipergunakan di Bali. Uang logam berlubang yang berasal dari China sejak sekitar abad IX itu memiliki arti sangat penting bagi masyarakat setempat karena menyangkut aspek sosial, budaya, agama dan ekonomi mereka.
Permintaan kepeng yang terus meningkat untuk berbagai kegiatan ritual Hindu sejak berabad-abad lamanya tidak pernah disertai upaya untuk memproduksinya di Bali karena pada jaman kerajaan di masa lampau uang itu selalu bisa didatangkan langsung dari negeri Cina.
Sejak berakhirnya jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara dan China, impor koin dari Negeri Tirai Bambu sudah tak ada lagi sehingga keberadaan koin yang disebut juga "pis bolong" itu kini semakin langka.
Seorang perajin menuang campuran lima logam yang telah cair ke cetakan uang berbahan tanah lempung
Beberapa Umat Hindu menggelar upacara Bhuta Yadnya yaitu ritual yang paling sering digelar di Bali dan memerlukan uang kepeng
Melihat kondisi tersebut, Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust) sejak beberapa tahun terakhir melakukan upaya untuk memproduksi uang kepeng yang sesuai dengan bahan aslinya.
Seorang pengusaha dari Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, I Made Sukma Swacita yang memperoleh hak paten dalam hal produksi uang kepeng itu mengatakan, pabriknya kini hanya sanggup memproduksi kepeng hingga 20 ribu keping/hari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali yang mencapai 50 ribu keping/hari.
Seorang perajin memperlihatkan uang kepeng hasil produksi ulang yang disesuaikan dengan bahan dan bentuk uang Cina aslinya
Seorang perajin membongkar cetakan dan menghancurkannya untuk mendapatkan uang hasil cetakan seusai pengecoran
Seorang Umat Hindu memperlihatkan uang kepeng yang asli, warisan budaya Cina yang masih dimilikinya
Para perajin logam mengumpulkan "pis bolong" atau uang kepeng hasil produksi sendiri
Beberapa orang suci menyusun uang Cina yang bermakna sebagai unsur penyusun tubuh manusia dalam sebuah upacara Ngaben yaitu ritual yang memerlukan uang kepeng terbanyak
Foto dan Teks: I Nyoman Budhiana