”Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang. Amban puruak pegangan kunci. Amban puruak aluang bunian. Pusek jalo kumpulan tali. Sumarak di dalam kampuang. Hiyasan dalam nagari.“
Kata-kata pusaka tersebut menggambarkan sedemikian indah peranan seorang ibu dalam budaya Minangkabau. Ibu sejati, atau yang dalam istilah Minangkabau disebut Bundo Kanduang, ialah pemimpin dalam sistem kekerabatan matrilineal suku Minangkabau.
Pentingnya peran Bundo Kanduang dalam kehidupan adat dan bermasyarakat di Minangkabau tertulis jelas dalam syair pusaka nan indah tersebut. Seorang Bundo Kanduang diibaratkan sebagai limpapeh atau tiang utama rumah gadang karena beliau ialah penyangga 'rumah tangga' dan suri teladan untuk semua.
Rumah Gadang atau rumah tradisional Minangkabau, Rumah Gadang Batu di Nagari Tungkar, Situjuh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Permaisuri Kerajaan Pagaruyung, Puti Rahma Oesman (58) berjalan melintas di depan Istana Silindung Bulan di Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Bundo Kanduang dipersonifikasikan sebagai ambun puruak pegangan kunci, ambun puruak aluang bunian atau tampuk harta pusaka karena beliau harus mampu menjaga harta pusaka dan menyelesaikan semua persoalan kaum rumah gadang. Bundo Kanduang sebagai pusek jalo kumpulan tali atau pusat jala kumpulan tali diartikan harus mampu menghimpun keluarga dalam makna seluas-luasnya. Bundo Kanduang merupakan hiyasan dalam kampuang, sumarak dalam nagari mengingat atau hiasan di dalam kampung dan semarak dalam nagari beliau juga sebagai penjaga adat dan budaya dalam peradaban Nagari di Minangkabau.
Dalam budaya Minangkabau, perempuan dan laki-laki ditempatkan seimbang. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya sama penting, tapi dibedakan berdasarkan fungsi masing-masing. Dalam pemahaman secara awam, Bundo Kanduang berperan sebagai penerus keturunan, pewaris, dan pengikat harta pusaka, sekaligus yang berkewajiban untuk menyimpan dan memelihara harta pusaka. Sementara itu, laki-laki dari garis ibu berperan mengatur dan mempertahankan harta pusaka.
Kedudukan dan peran perempuan dalam budaya Minangkabau sangat besar dan keberadaan mereka amat diharapkan. Sistem matrilineal yang mengikat jalinan kekerabatan berdasarkan garis ibu dan menempatkan anak laki-laki maupun perempuan merupakan klan dari perkauman ibu kian memperkokoh kedudukan perempuan Minangkabau pada posisi mulia dan terhormat.
Perempuan berbusana tradisional Luhak Lima Puluh Minangkabau, Rini Susanti (50), Daswita (43), dan Fikha Mutiarani (16), berada di salah satu Rumah Gadang di Payakumbuh, Sumatra Barat.
Bundo Kanduang Kerajaan Pagaruyung, Puti Reno Raudha Thaib (69) berpose di salah satu sudut Istana Silindung Bulan di Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Sistem kekerabatan seperti yang berlaku pada suku Minangkabau merupakan keunikan di antara sekian banyak suku yang ada di Indonesia. Keberadaannya memperkokoh khazanah budaya negeri yang kini hanya menyisakan 1.340 suku di seluruh wilayah Nusantara.
Sistem matrilineal juga menempatkan suku yang berpusat di wilayah Sumatra Barat ini unik di mata dunia, sejajar dengan suku-suku bersistem kekerabatan serupa, seperti suku Khasi di Meghalaya, India, suku Nakhi di Sichuan dan Yunan, Tiongkok, sebagian suku Indian Apache dan Navajo di Amerika Serikat, dan beberapa suku di kawasan Kepulauan Asia Pasifik.
Seorang ibu berbusana tradisional Luhak Lima Puluh Minangkabau, Edmar (58) berpose di salah satu Rumah Gadang di Payakumbuh, Sumatra Barat.
Seorang ibu berbusana tradisional Luhak Lima Puluh Minangkabau, Riswan Sjaichani (66) berpose di salah satu Rumah Gadang di Payakumbuh, Sumatra Barat.
Seorang ibu berbusana tradisional Luhak Agam Minangkabau, Hafrina Oktavieni (56) berpose di salah satu rumah di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Seorang ibu berbusana tradisional Luhak Agam Minangkabau, Efni (59) berpose di kediamannya di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Perempuan berbusana tradisional Luhah Tanah Datar Minangkabau, Wira Novita (40) dan Meliza (22), menuruni tangga Istana Silindung Bulan di Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Ornamen kepala kerbau bertanduk di Istana Silindung Bulan di Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Siluet salah seorang ibu berbusana tradisional Luhak Agam Minangkabau di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Foto dan Teks: Ismar Patrizki