Sumedang, sebuah kabupaten di Jawa Barat yang terletak sekitar 45 km sebelah timur laut dari Kota Bandung, terkenal dengan tahunya sebagai makanan khas. Di balik keenakan dan kegurihan tahu Sumedang yang telah tersohor hingga luar pulau tersebut, ternyata menyimpan masalah yakni limbah dari produksi tahu tersebut. Limbah tahu yang berwarna pekat dan berbau tak sedap menjadi biang kerok pencemaran air sungai di kabupaten itu.
Namun demikian, di sebuah dusun bernama Giriharja, Sumedang Utara, masyarakatnya ternyata sudah lebih maju dalam menyikapi masalah ini. Warganya berhasil menyulap limbah tahu menjadi bahan bakar biogas yang bisa digunakan untuk memasak. Sebanyak 56 rumah di RT 005, RW 06 di dusun tersebut, telah menerima manfaat dari inovasi ini.
Dusun Giriharja telah membangun instalasi pengolahan limbah tahu sejak 2013, hasil kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Nanyang Technology University, Singapura. Namun pengoperasiannya baru dilakukan pada 2018.
Seorang petugas berjalan di dekat reaktor instalasi biogas.
Seorang pekerja mengeluarkan limbah di pabrik tahu.
Saat ini, instalasi tersebut sudah sepenuhnya dikelola secara mandiri oleh warga. Setiap harinya, tempat pengolahan itu menerima limbah dari sembilan pabrik tahu yang ada di wilayah tersebut.
Salah seorang teknisi instalasi pengolahan limbah di Dusun Giriharja, Pepen Supendi, menjelaskan, proses pembuatan biogas diawali dengan menampung seluruh sisa ampas tahu di bak penampungan dengan menggunakan saluran yang dibuat secara khusus.
Sesampainya di bak penampungan, limbah tahu kemudian secara otomatis disedot hingga masuk ke dalam enam tabung reaktor. Mikroba di dalam keenam tabung reaktor di tempat pengolahan limbah akan mengubah ampas tahu menjadi gas metana (biogas) dan air bersih.
Seorang petugas memeriksa kolam penampungan limbah tahu di instalasi biogas.
Seorang petugas memeriksa reaktor di instalasi biogas.
Terakhir, biogas akan ditampung di Gas Bag atau tabung besar untuk disalurkan ke rumah-rumah warga. Setiap bulannya, warga cukup membayar Rp20 ribu untuk bisa mendapatkan aliran biogas ke dapur mereka.
Namun, penggunaannya tidak bisa terus menerus selama 24 jam karena bergantung pada sejumlah faktor, termasuk faktor volume ampas tahu yang dihasilkan pabrik dan faktor cuaca.
Biogas hanya bisa digunakan dari pukul 04.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB dan pukul 14.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Di luar waktu itu, warga masih menggunakan gas elpiji.
Seorang petugas memasuki instalasi biogas.
Sebuah papan informasi tentang instalasi biogas terpasang di kawasan permukiman warga.
Ijah (65), warga Dusun Giriharja, mengatakan, biogas tersebut sangat membantu menekan pengeluaran rumah tangganya karena dia dapat menghemat pemakaian gas elpiji.
Selain memiliki nilai ekonomis, instalasi pengolahan limbah tahu itu juga membuat pabrik tahu di wilayah tersebut menjadi lebih ramah lingkungan. Limbah yang telah diurai menjadi biogas membuat airnya menjadi bersih dan tidak berbau sehingga aman untuk dibuang ke sungai.
Sebuah papan petunjuk instalasi biogas terpasang di kawasan permukiman warga.
Seorang petugas memeriksa kondisi pipa yang menyalurkan biogas ke rumah warga.
Seorang warga melintas di samping pipa biogas yang disalurkan ke rumah warga.
Seorang warga menyalakan kompor berbahan bakar biogas.
Seorang warga menyalakan kompor yang menggunakan bahan bakar dari biogas.
Foto udara suasana instalasi biogas di kawasan permukiman Dusun Giriharja.
Foto dan Teks: Raisan Al Farisi
Editor: Widodo S Jusuf