Perkampungan masyarakat adat Suku Talang Mamak yang sepi di tengah belantara Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Dusun Bengayauan, Rantau Langsat, Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau mendadak ramai saat akan digelarnya upacara "gawai" pada Senin (17/8) lalu.
"Gawai" yang merupakan upacara pernikahan secara adat masyarakat Suku Talang Mamak di tengah pandemi COVID-19 tersebut dilakukan secara hati-hati dengan menerapkan pembatasan dan pengetatan pemeriksaan untuk para tamu, khususnya tamu dari luar kawasan.
Upacara "gawai" nan langka yang kebetulan bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia itu menjadi semacam oasis di tengah mulai hilangnya kearifan lokal masyarakat adat di sejumlah daerah di tanah air.
Sejumlah anak laki-laki dan perempuan mendampingi calon pengantin laki-laki, Mindar (23) (tengah) menuju sungai untuk melaksanakan "mandi limau" dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Sejumlah perempuan menghias calon pengantin perempuan, Ledo (20) (tengah) sebelum melaksanakan "mandi limau" dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Sepiring "rukun yang lima" yang terdiri dari sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau menjadi perantara wajib dalam setiap tahapan "gawai" masyarakat adat Suku Talang Mamak.
Dimulai dari pemberitahuan ke Pemerintah Desa sampai perundingan di tingkat waris kedua pengantin, "cemilan adat" itu selalu dibawa sebagai "syarat berunding".
Dalam tradisi Suku Talang Mamak Dusun Bengayauan, "gawai" diawali dengan pemberitahuan oleh "mangku" ke pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat Desa. Setelahnya, barulah tahapan "gawai" bisa dilaksanakan yang dimulai dengan tradisi "mandi limau" yang dipandu waris perempuan dari pengantin perempuan.
Kaum perempuan berkumpul menyambut pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan) di perkampungan masyarakat adat Suku Talang Mamak.
Calon pengantin laki-laki dan perempuan melaksanakan "mandi limau" yang dipandu waris pengantin perempuan dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
"Mandi limau" mengandung makna pembersihan diri dan tanda kepatuhan pada ritual dan hukum adat sebagai pengantin. Setelah itu, secara maraton tahapan "gawai" berikutnya adalah "berunding" yang melibatkan waris pengantin laki-laki, waris pengantin perempuan, pihak RT, dusun dan "pegawai".
"Pegawai" sendiri merupakan pemuka adat yang memiliki kewenangan mengesahkan pernikahan pada masyakat adat Suku Talang Mamak.
Dalam tahapan "berunding", selain menyampaikan maksud dan tujuan sambil saling menyerahkan "rukun yang lima", cincin dan sapu tangan, waris pengantin laki-laki juga menyerahkan pusaka (umumnya keris) sebagai syarat penting perlengkapan adat saat meminang perempuan.
Perlengkapan "berunding" yang terdiri dari "rukun yang lima" (sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau), cincin dan sapu tangan disiapkan sebelum memulai pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Waris laki-laki dan perempuan bersalaman mengawali "berunding" dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Pusaka itulah yang nantinya juga menjadi tanda dan puncak pengesahan nikah oleh "pegawai" yang disaksikan kedua waris pengantin, pemuka adat, pemimpin pemerintahan di tingkat dusun dan para tamu.
Meski begitu, pengesahan nikah oleh "pegawai" secara adat di sejumlah tempat pada masyarakat adat Suku Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu belum serta merta menjadi sah di mata negara.
Kedua pengantin Suku Talang Mamak tersebut mesti melakukan "pernikahan kedua" di hadapan pemuka agama setempat guna mendapatkan legalitas. Bahkan, tak sedikit dari mereka terpaksa menikah "ulang" di luar perkampungan tempat tinggalnya.
Waris perempuan memeriksa tambahan keris sebagai pusaka yang melengkapi "rukun yang lima", cincin dan sapu tangan dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan.
Waris laki-laki dan perempuan bersiap "berunding" dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Pada momentum peringatan hari kemerdekaan ini, para pemangku adat dan generasi penerus Suku Talang Mamak di daerah itu berharap upacara "gawai" yang terancam punah tersebut bisa diakui sebagai ritual pernikahan yang sah di mata negara.
Kedua pengantin dipandu waris melaksanakan ritual "nasi sampat" dalam rangkaian "gawai" (ritual pernikahan).
"Pegawai" menancapkan keris sebagai pusaka yang diserahkan waris pengantin laki-laki saat "berunding" ke "tokukan" untuk mengesahkan pernikahan kedua pengantin dalam rangkaian pelaksanaan "gawai" (ritual pernikahan).
Waris laki-laki dan perempuan mengarak kedua pengantin ke hadapan pemuka adat dan para tamu untuk "bersanding".
Foto dan teks: Wahdi Septiawan
Editor: Widodo S Jusuf