JALAN PANJANG PENANTIAN TRANSMIGRAN GUNUNG KERINCI

Wahdi Septiawan

Katimun (55) tak pernah menyangka harapan untuk hidup lebih baik yang ia pupuk rapi dalam memori sepuluh tahun lebih lalu bisa mengambang tanpa kepastian hingga saat ini.

Harapan yang dia bawa dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menuju Kabupaten Kerinci, Jambi pada tahun 2009 silam melalui program transmigrasi masih jauh panggang dari api.

Janji pemerintah memberikan bantuan lahan bersertifikat untuk pekarangan seluas sekitar 0,25 hektare, lahan usaha I seluas satu hektare, dan lahan usaha II seluas 0,75 hektare kepada tiap-tiap keluarga transmigran belum sepenuhnya ditepati. Bahkan, setelah sepuluh tahun lebih.

Katimun (55, kanan) dan istrinya Suryatun (57, kiri) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

Rudi (45, kiri) dan istrinya Jumaidah (42, kanan) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

"Baru lahan pekarangan sekitar seperempat hektare yang sudah diberikan pemerintah kepada kami. Sementara lahan usaha I dan II belum ada kejelasan," katanya ketika ditemui di kawasan transmigrasi Sungai Bermas, Kecamatan Siulak, Kerinci, Jambi.

Katimun menceritakan, saat pertama kali tiba di kabupaten yang terkenal dengan Gunung Kerincinya itu adalah melalui program transmigrasi gelombang kedua.

Dia bersama 24 kepala keluarga (KK) lainnya asal Lumajang dan Madiun mendapatkan pendampingan dari perwakilan instansi terkait hingga ke lokasi.

Rusmana (45, kiri) dan istrinya Arum Yati (43, kanan) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

Kaspani (64, kiri) dan istrinya Sumiati (63, kanan) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

Saat itu, dia dan keluarga ditempatkan di salah satu rumah yang sudah ditempelkan nomor dan ditunjukkan sehamparan lahan (untuk usaha). Namun, penunjukkan itu tidak disertai sertifikat kepemilikan. Akibatnya, setelah beberapa bulan diolah, lahan tersebut direbut paksa oleh oknum warga lainnya yang mengaku-ngaku sebagai pemilik.

"Saat itu masih hutan, lebat dan penuh semak. Kami garap, rapikan dan tanami. Sudah rapi, diambil," katanya. Katimun mengalah. Meski sakit, dia tidak ingin berkonflik.

Setali tiga uang dengan itu, transmigran lainnya Kaspani (64) juga mengaku mendapatkan perlakuan serupa. Lahan penunjukan dari pemerintah yang dia garap diambil paksa oleh oknun warga (dari luar transmigran). Bahkan, ada salah satu warga transmigran yang sudah mendapatkan pengusiran hingga tiga kali dan sampai saat ini tidak memiliki lahan usaha sama sekali.

Supatmi (41) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

Bambang (56, kiri), dan istri Apotik (45, kanan) beserta anaknya Aprilian (8, kedua kiri) dan Rasyidin (2, kedua kanan) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

"Kami pernah mengadu ke petugas saat masa-masa awal berjalannya program. Dulu ada kantor UPT di sini. Tapi tidak ada solusi," akunya.

Saat ini, dari sekitar 65 KK transmigran (asal Lumajang, Madiun, Sumedang, dan Yogyakarta) yang masuk dalam program transmigrasi Kerinci periode tahun 2009 sampai 2011 tersebut, tinggal sekitar 20-an KK saja yang masih bertahan.

Tidak adanya kepastian kepemilikan lahan menjadi alasan utama kenapa lebih dari setengah KK transmigran kembali ke daerah asal mereka. Selain itu, hampir tidak adanya jaringan telekomunimasi dan tidak adanya petugas di kawasan tersebut beberapa tahun setelah berjalannya program juga turut menyulitkan transmigran mengadukan nasibnya.

Supatmi (41) berpose di teras rumahnya di kawasan Transmigrasi Sungai Bermas, Siulak, Kerinci, Jambi.

Mereka berharap, suara mereka bisa sampai ke pengambil kebijakan.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Kerinci Sahril Hayadi ketika dikonfirmasi di Kerinci mengaku persoalan kepastian lahan masih menjadi kendala.

Sahrul yang baru menjabat sebagai Kepala Dinas pada awal tahun 2020 tersebut berjanji akan membawa persoalan tersebut ke dalam pertemuan lintas instansi yang lebih tinggi, yakni dengan mengagendakan rapat koordinasi dengan para pihak di lingkup pemerintahan provinsi dan pusat.

Sebagai tambahan, kawasan Transmigrasi Sungai Bermas merupakan salah satu kawasan di provinsi itu yang belum mendapatkan layanan listrik negara. Sebagian rumah hanya memanfaatkan aki sepeda motor untuk menyalakan lampu pada malam hari.