SONGKET SILUNGKANG MELINTASI ZAMAN

Iggoy el Fitra

Silungkang, sebuah nagari atau desa di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, berlokasi sekitar 79 kilometer dari Kota Padang. Mayoritas penduduk di desa ini adalah petani padi dan palawija. Dahulu hasil pertanian di desa itu dipasarkan hingga ke provinsi lain bahkan sampai ke Malaysia.

Sekitar abad ke-19, ketika sejumlah petani memasarkan hasil pertaniannya ke daerah Pahang, mereka tertarik pada tenun songket yang ada di sana. Saking tertariknya, mereka bawa pulang ke Silungkang dan membuat tenun songket sendiri.

Tenun songket awalnya merupakan seni budaya dari daratan negeri China sejak 1000 tahun yang lalu.

Seorang perajin memintal benang sebelum ditenun mnejadi kain Songket Silungkang.

Perajin melakukan proses menghani yakni pembuatan benang lungsi untuk kebutuhan tenun.

Lalu tenun Songket singgah ke Negeri Siam (Thailand), menyebar ke Semenanjung Negeri Jiran Malaysia dan Brunei Darussalam kemudian menyeberang ke Pulau Sumatera yakni ke Silungkang, Siak dan Palembang.

Tenun Songket Silungkang mengandung nilai-nilai kehidupan di masyarakat. Nilai-nilai itu adalah kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian dan kesabaran.

Ciri khas Songket Silungkang terletak pada corak dan motifnya. Motif Kaluak Paku, Pucuak Rabuang, Itiak Pulang Patang, Bintang, Buruang Merak, Rangkiang dan Buruang Dalam Rimbo menjadi motif yang banyak dibuat oleh perajin.

Pekerja mewarnai benang yang akan ditenun menjadi songket Silungkang.

Perajin menenun kain songket Silungkang.

Pewarna songket pun diracik dari bahan alami seperti kulit pohon, kulit jengkol, daun gambir bahkan batubara. Pewarna alam tersebut dianggap bisa menghasilkan songket yang berkualitas sekaligus meningkatkan harga jual. Tenunan dasar songket Silungkang biasanya berwarna merah tua, hijau tua atau biru tua.

Meski dibuat dengan peralatan sederhana, keindahan songket Silungkang bernilai jual sangat tinggi. Pedagang menjualnya mulai harga Rp350 ribu hingga Rp10 jutaan per helai, tergantung motif dan bahannya.

Pemkot Sawahlunto berupaya melestarikan tenun songket Silungkang dengan rutin menggelar Sawahlunto Internasional Songket Carnival (SISCA) setiap tahunnya dan memasukkannya ke kalender agenda nasional.

Perajin menenun kain songket Silungkang.

Perajin menenun kain songket Silungkang.

Seorang pengusaha menunjukan kain songket Silungkang yang biasa dibeli oleh pelanggannya.

Seorang pengusaha memamerkan songket Silungkang yang dijualnya saat pameran Sawahlunto International Songket Carnival 2020.

Sejumlah penari menggunakan masker dan kain berbahan songket Silungkang saat digelarnya Sawahlunto Internasional Songket Carnival 2020.

Seorang model menggunakan masker dari kain songket Silungkang saat digelarnya Sawahlunto Internasional Songket Carnival 2020.

Foto dan Teks: Iggoy el Fitra

Editor: Widodo S Jusuf

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi