KISAH TERANG LAYAR TANCAP HINGGA REDUP DIGILAS ZAMAN

Galih Pradipta

Selepas isya, orang-orang mulai berkumpul di sebuah lapangan kampung setempat yang di tengah-tengahnya terdapat kain putih berukuran besar sekitar 7 x 3 meter membentang di antara dua tiang bambu yang tertancap di tanah.

Tak lama berselang, lampu proyektor mulai menyorot dan sistem pengeras suara bekerja bersamaan dengan munculnya adegan-adegan dari sebuah film lawas Indonesia di kain putih tersebut.

Itulah layar tancap, hiburan rakyat bagi warga pinggiran Jakarta yang masih berusaha bertahan di tengah gempuran teknologi digital khususnya di dunia perfilman. Film lawas Indonesia dan film Bollywood menjadi menu andalan dalam setiap pertunjukannya.

Abdul mengecek kondisi film 35mm untuk pemutaran film layar tancap.

Tumpukan film-film lawas Indonesia berformat 35mm yang menjadi koleksi film milik Abdul.

Segelintir komunitas penikmat film-film lawas seperti komunitas Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) mencoba melestarikannya dan menjajakannya berkeliling dari kampung ke kampung sebagai hiburan untuk warga.

Komunitas yang telah berdiri sejak 5 Desember 2013 tersebut saat ini telah memiliki 15 ranting yang tersebar di Jabodetabek, Karawang dan Cirebon bahkan anggotanya ada yang berasal dari luar negeri.

Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban, terutama pada dekade 1970 hingga 1990an. Pada umumnya gelaran bioskop keliling tersebut merupakan hiburan yang disediakan oleh tuan rumah dari sebuah hajatan seperti pernikahan, khitanan atau ulang tahun. Tak pelak hiburan rakyat itu menjadi kesempatan buat kaum muda untuk berkumpul dan bercengkerama.

Rol film 35mm rusak tergantung di dinding.

Abdul membawa perlengkapan layar tancap dengan gerobak.

Seiring berkembangnya teknologi yang memunculkan sejumlah stasiun televisi, bioskop-bioskop modern dan laman internet, tontonan layar tancap mulai meredup karena tidak lagi dikerumuni penonton.

Terancam mati perlahan, layar tancap mencoba bertahan hidup lewat nostalgia masa lalu dan juga menjadi bahasa perlawanan terhadap digitalisasi yang membekap dunia sinema dan hiburan saat ini.

Namun bagi sebagian orang, layar tancap tetap bernilai sama seperti beberapa dekade silam, yakni sebagai ajang hiburan yang memiliki banyak kesan dan kenangan manis yang tersaji dalam setiap pertunjukannya.

Teknisi menyiapkan layar putih berukuran 7X3 meter untuk pemutaran film layar tancap.

Teknisi menggulung ulang film 35mm untuk pemutaran film layar tancap.

Teknisi menyiapkan film 35mm untuk pemutaran film layar tancap.

M. Zaki menyiapkan film untuk pemutaran layar tancap.

Teknisi menyiapkan proyektor untuk pemutaran film layar tancap.

Teknisi mengoperasikan proyektor layar tancap.

Warga menonton layar tancap di kawasan Bojongsari, Depok, Jawa Barat.

Rol film yang kusut saat pemutaran film layar tancap.

Foto dan Teks: Galih Pradipta

Editor: Widodo S Jusuf

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi