Terletak di Samudera Hindia, pulau terluar seluas 400,6 kilometer persegi (km2) yang berjarak 156 km di sebelah barat daya Ibukota Provinsi Bengkulu bernama Enggano belum terjamah oleh para peneliti Indonesia. Belum pernah ada catatan atau jurnal ilmiah yang dihasilkan dari pulau yang secara geologi tidak pernah bersatu dengan Pulau Sumatera.
Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kali ini menyasar Enggano (bahasa portugis) yang dalam bahasa Indonesia berarti “kecewa”. Sebanyak 46 peneliti botani dan zoologi menjadi tim awal yang mendapat tugas mencari, mencatat, mengambil, membawa sebanyak mungkin jenis flora, fauna, hingga organisme mikroskopik yang hidup di pulau tersebut hanya dalam waktu 12 hingga 20 hari.
Bergerak menyebar dalam kelompok-kelompok lebih kecil, para peneliti dengan latar belakang ilmu beragam mulai dari ahli burung, ahli kelelawar, ahli ikan air tawar, ahli tumbuhan, ahli fitofarmaka, ahli mikroba, ahli herpetologi tidak ragu menyisir hutan-hutan sekunder, menyusuri sungai dan perairan pesisir sekitar Enggano serta sedikit hutan primer yang tersisa guna mengumpulkan sampel yang mereka butuhkan.
Tim ekspedisi bioresources Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada di atas kapal feri Pulo Tello menuju pulau terluar Enggano di Bengkulu.
Teknisi Bryophyta dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Rosalina mengumpulkan sampel fungi dari tumpukan papan lapuk di hutan sekunder Desa Banjarsari, Enggano, Bengkulu.
Kejar tayang istilah yang dipakai salah seorang ahli herpetologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI yang menjadi koordinator dalam ekspedisi bioresources ini. Dengan waktu ekspedisi yang relatif singkat mereka memulai eksplorasi di wilayah utara pulau di Desa Banjarsari, berlanjut ke Desa Meok, Desa Apoho yang menjadi kota Kecamatan Enggano, Desa Malakoni, Desa Kaana, dan berakhir di selatan pulau Desa Kaiyapu dan menyisir kawasan hutan lindung Koho Buwa-buwa yang menjadi dataran tertinggi di pulau tersebut dengan ketinggian 240 mdpl.
Flora dan fauna seperti burung hantu enggano (Otus engganensis), burung kacamata enggano (Zosterops salvadorii), salak hutan, singkong berduri, berbagai macam keladi, jamur, ikan air tawar, moluska, amfibi, reptil, batang pohon merbau enggano, daun dan buah serta selasar dari berbagai jenis tumbuhan, dan sampel air dari perairan dalam ekosistem Enggano menjadi koleksi para peneliti. Harapannya minimal 10 jenis atau lebih flora dan fauna baru di antara sampel yang berhasil dibawa dapat ditemukan.
Bagi ahli mikroba atau fitofarmaka, menemukan senyawa potensial yang dapat menjadi obat untuk penyakit tertentu menjadi harapan terbesar. Sementara bagi peneliti etnobotani, masyarakat asli Enggano untuk memahami budaya, adat istiadat, pengetahuannya terhadap tanaman obat menjadi guru terbaik yang perlu didengar, dicatat, diteliti lebih lanjut, dan dilestarikan.
Siput tanah kecil berukuran kurang dari dua centimeter (cm) berwana hijau ditemukan menempel pada daun yang dikoleksi oleh tim peneliti botani Pusat Penelitian Biologi LIPI dari hutan sekunder di Desa Banjarsari, Enggano, Bengkulu.
Teknisi Bryophyta dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Rosalina mengumpulkan sampel fungi dari tumpukan papan lapuk di hutan sekunder Desa Banjarsari, Enggano, Bengkulu.
Atas alasan itu pula ekspedisi bioresources ke kepulauan terdepan dan daerah perbatasan Nusantara ini dilakukan. Demi mengamankan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus mengungkap potensi sumber daya hayati di pelosok wilayah Indonesia yang merupakan potensi sumber devisa terbesar di masa depan.
"Yauuwka, Enggano. Selamat lah kita semua, Enggano".
Sampel fungi dari tumpukan papan lapuk yang dikumpulkan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di hutan sekunder Desa Banjarsari, Enggano, Bengkulu.
Teknisi Bryophyta dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelajah hutan sekunder Desa Banjarsari, Enggano, Bengkulu.
Mantan Kepala Desa Meok Sunaidi (50) meniup cangkang keong laut berukuran besar yang disebut Kamiang di teras rumahnya di Desa Meok, Enggano, Bengkulu.
Seekor anakan burung hantu yang belum diketahui jenisnya ditangkap di salah satu hutan sekunder di Desa Meok, Enggano, Bengkulu.
Seorang mempelai wanita dari Suku Kaitaro ditempatkan di ruangan tersendiri dan hanya boleh ditemui wanita saat pesta adat pernikahan berlangsung di Desa Apoho, Enggano, Bengkulu.
Air Danau Bak Blau di pesisir Desa Meok, Enggano, Bengkulu, Minggu (19/4).
Tumpukan tandan pisang kepok dan bawean dari Pulau Enggano di atas kapal feri Pulo Tello saat dikirim ke Kota Bengkulu.
Sejumlah warga dan peneliti LIPI menikmati matahari terbit dari ujung pelabuhan khusus untuk kapal perintis di Desa Malakoni, Enggano, Bengkulu.
Foto dan teks: Virna Puspa Setyorini