Kebakaran lahan dan hutan sudah hampir tiga bulan menimpa sejumlah tempat di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Oktober 2015, sebanyak 977 titik api disinyalir masih menimpa dua pulau tersebut. Akibatnya masyarakat yang tinggal terimbas dengan asap yang dihasilkan dari kebakaran lahan dan hutan tersebut.
Seiring dengan kebakaran lahan dan hutan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) semakin meningkat. Menurut catatan BMKG, angka Informasi Partikulat (PM10) di Palangkaraya sempat mencapai angka 2000 ugram/m3, sementara batas bahaya berada di angka 350 ugram/m3. Artinya angka tersebut sebenarnya tidak dapat ditolerir lagi untuk kesehatan manusia. Angka ISPU pun sejalan dengan angka Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Seiring dengan naiknya angka ISPU, maka angka penderita ISPA pun mencetak rekornya di mana-mana. Di Kalimantan Tengah, dinas kesehatan Kalimantan Tengah mencatat jumlah penderita ISPA per minggu keempat bulan September 2015 adalah 3.052 jiwa. Dari data tersebut penderita ISPA terbanyak adalah anak-anak dan orang tua.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 15 bayi terjangkit ISPA akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Lima di antaranya meninggal. Selain dari sisi kesehatan, kebutuhan pendidikan dan psikologis anak-anak juga terganggu. Sekolah-sekolah kerap diliburkan, sehingga kebutuhan rohani dan batin anak-anak untuk berinteraksi, mendapat pendidikan, dan bermain tidak terpenuhi karena harus terus berada di rumah. Jika bencana asap tak kunjung selesai, maka tumbuh kembang anak-anak pun akan terganggu.
Indra Saputra (10 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Flamboyan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Delta Intan Permatasari (10 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Arut, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Namun hantu nyata yang menggerogoti masa depan anak-anak adalah kabut asap itu sendiri. Kabut asap mengandung berbagai bahan polutan yang memberi dampak bagi kesehatan setiap orang yang menghirup asap tersebut, dan salah satunya adalah kanker.
Menurut WHO, zat yang dapat menyebabkan kanker terutama asap yang dihasilkan dari pembakaran bahan organik. Pengaruh partikel penyebab kanker dari kabut asap baru dapat terdeteksi setelah rentang waktu 5 hingga 10 tahun sehingga efek keseluruhan dari menghirup kabut asap tidak dapat langsung diketahui. Selain itu, kabut asap juga mengakibatkan penurunan fungsi otak. Efek kesehatan yang tak langsung terlihat ini menjadi masa depan anak-anak yang terus-menerus menghisap asap. Maka terpetakanlah masa depan generasi penerus bangsa.
Arjuna (7 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Flamboyan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Aliya Aprilia Kania (6 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Arut, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Bayu Aditya Febrianto (6tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Arut, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Cinta Jessica (5 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Flamboyan Bawah, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Jimmy Ramadhan (7 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Danau Tahai, Nyaru Menteng, Tanggiling, Kalimantan Tengah.
Indah Nur'aini (10 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Mendawai Sosial, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Paridah (10 tahun), duduk di kelas 4 di SDN 14 Palangkaraya, mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Mendawai Sosial, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Nopelita Juwanty (9 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Arut, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Wahyu Guna Pratama (8 tahun) mengenakan masker di lingkungan tempat ia tinggal di Kampung Arut, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Foto dan Teks: Rosa Panggabean