Bagi mereka yang sering melintas di depan Istana Merdeka pada Kamis sore, pastilah akrab dengan sosok ibu 57 tahun itu. Berambut putih potongan pendek, bersetelan hitam-hitam dan memegang payung hitam. Pada payung yang dipegangnya ada tulisan "Tuntaskan Kasus Trisakti & Semanggi".
Maria Catarina Sumarsih atau Sumarsih, kehilangan putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Fokus kehidupan ibu yang bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI itu pun berubah.
Ia mencari keadilan. Ibu yang kini telah pensiun itu menjadi aktif melakukan advokasi dan berbagai aksi menolak kekerasan. Juga testimoni di berbagai ruang publik. Berbagai audiensi, antara lain ke Presiden, DPR, Komnas HAM, ia lalui. Ia juga mendatangi Puspom TNI hingga ikut demonstrasi di jalanan.
Kebulatan tekat Sumarsih juga tampak dari kesehariannya. Ia tak pernah makan nasi lagi sejak meninggalnya Wawan. Berpuasa setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu, serta selalu mengunjungi makam anak tercintanya itu setiap hari di TPU Joglo.
Ia mengawal draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang meminta agar korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) melupakan persoalan masa lalu dan memaafkan para pelaku pelanggar HAM. Ia berkeras menolaknya. Baginya rekonsiliasi harus lewat pengadilan karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak boleh menggantikan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Sebelas tahun, empat pemerintahan telah ia lalui. Janji silih berganti. Sumarsih terus menjaga pelita harapannya, melawan semua bentuk pelupaan diiringi keteguhan imannya.
"Supaya menjadi pelajaran dan tak lagi terulang tragedi di bangsa ini," ujarnya lirih.
Foto dan Teks: Fanny Octavianus