Kain, alat tenun, maupun perajin tidak lagi dapat dijumpai keberadaanya di antara masyarakat Tidore. Padahal Kesultanan Tidore dan masyarakatnya masih mempertahankan tradisi-tradisi adat yang mengharuskan berpakaian adat, yang salah satunya dengan pemakaian kain tenun.
“Di upacara adat kami, malah pakai kain dari luar daerah†ungkap Anita Gathmir, yang masih bagian dari keluarga Kesultanan Tidore. Ia prihatin dengan kondisi tersebut dan muncul pertanyaan besar dalam benaknya, mengapa kain khas Tidore tidak pernah tampil dalam acara formal termasuk dalam upacara-upacara adat.
Berbekal semangatnya akan keberadaan wastra khas Tidore tersebut ia menggandeng Sri Wahdania dan Fatahillah Ismail berupaya mewujudkan mimpinya untuk melahirkan kembali kain tenun Tidore. Mereka mengumpulkan berbagai catatan, penelitian hingga bukti-bukti sejarah bahwa tenun Tidore memang benar pernah ada di masa silam.
Sri Wahdania menunjukkan kain tenun pertama yang diberikan oleh nenek zaenab asal Gurabati (kanan) dan kain tenun baru buatan Puta Dino Kayangan di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Pekerja menggulung benang untuk membuat kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Anita melihat jejak kain tenun Tidore dari ditemukannya alat tenun gedogan sulam yang sudah tua, rapuh dan tidak terawat serta sebuah motif anyaman bambu yang ada di Kedaton (Istana Sultan) di Tidore.
Ia pun mendapatkan kain tenun dari seorang nenek asal Gurabati, Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara yang bernama Zaenab. Masyarakat Gurabati pernah berkegiatan menenun atau membuat kain menggunakan alat sederhana yang biasa dilakukan oleh para wanita dewasa, namun kegiatan itu tidak diteruskan kepada anak-anaknya. Penelusuran itu meyakinkan Anita bahwa kegiatan menenun dan produksi kain tenun Tidore pernah eksis pada jaman dahulu.
Dengan dukungan Bank Indonesia (BI) cabang Maluku Utara dan dibantu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Anita bersama para remaja Tidore mendapatkan pendampingan dan pembelajaran menenun. Penelusuran motif khas Tidore pun terus dilakukan seiring dengan perluasan dan pengukuhan kemampuan menenun para remaja Tidore hingga akhirnya mendirikan rumah tenun bernama Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore yang diresmikan 14 September 2019.
Pekerja menarik benang untuk membuat gulungan kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Pekerja memberikan warna alami pada benang untuk membuat kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Keberadaan kain tenun Tidore, kain adat Kesultanan Tidore yang sempat hilang sekitar 100 tahun itu pun menjadi salah satu produk UMKM unggulan dalam Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesa (Gernas BBI) Maluku Utara 2022. Puta Dino Kayangan berkesempatan menggelar peragaan busana kain tenun Tidore saat pagelaran Gernas BBI Maluku Utara 2022. Sebagai salah satu kerabat Kasultanan Tidore, Anita berharap Gernas BBI Maluku Utara 2022 dapat membantu memperkenalkan wastra khas Tidore tersebut dan mempromosikannya kepada masyarakat di luar Kota Tidore, Kepulauan Maluku Utara.
Sri Wahdania menjemur benang yang sudah diberikan warna untuk membuat kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Pekerja menunjukkan pola motif untuk kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Pekerja menenun kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Anita Gathmir menata kain tenun Tidore di gerai Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Sri Wahdania membawa kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Pengunjung mencoba pakaian dari kain tenun Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Sejumlah model memperagakan busana dari kain tenun Tidore buatan Puta Dino Kayangan saat gelaran Gernas BBI Maluku Utara 2022 di Benteng Oranye, Ternate, Maluku Utara.
Foto dan Teks : Asprilla Dwi Adha
Editor : Puspa Perwitasari