Di sebuah rumah berarsitek Hindia Belanda di Dusun Lemah Putro, Jetis, Sidoarjo, dua perempuan duduk menghadap lembaran kain berpola yang dibentangkan pada potongan kayu. Tangan kanan memegang kain, sedangkan tangan kiri memegang canting penuh cairan malam panas. Di dekatnya terdapat sebuah mangkuk tembikar berisi cairan malam panas dibakar di atas tungku.
Kedua perempuan tersebut tekun menorehkan malam di atas kain berpola. Pengapnya ruangan karena suhu tinggi akibat uap panas dari cairan malam tak membuat mereka gerah. Mereka membatik dimulai pagi dan baru berakhir sore hari dengan upah Rp20.000-Rp100.000 per lembar kain.
Begitulah gambaran sekilas suasana di kampung yang dikenal dengan batik tulisnya. Batik Jetis memiliki beragam motif seperti abangan dan ijo-ijoan (gaya Madura), motif beras kutah, motif krubutan lalu ada motif burung merak, dan motif-motif yang didominasi flora dan fauna khas Sidoarjo dan memiliki warna-warna cerah, merah, hijau, kuning, dan hitam.
Pekerja membatik pada sebuah kain di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Mangkuk tembikar berisi cairan malam panas dibakar di atas tungku di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pengusaha batik mampu memproduksi 300-an kain batik per bulannya. Selembar kain batik tulis khas Jetis dihargai mulai Rp120.000 hingga jutaan rupiah tergantung ukuran. Perajin umumnya lebih senang menggarap pasar lokal karena tuntutan untuk memasuki pasar ekspor tidak sedikit, misalnya harus menggunakan pewarna alam bukan kimia. Padahal pewarna alam butuh proses panjang dan lama serta pencelupan kain terbilang rumit.
Menurut sejarah, batik tulis tradisional di Sidoarjo ini berpusat di Jetis sejak tahun 1675 atau 341 tahun silam. Awalnya, usaha batik hanya ditekuni satu orang yang menurut cerita dari mulut ke mulut berasal dari Kerajaan Kediri. Belakangan, jumlah warga yang menekuni usaha batik tulis semakin berkembang, bahkan menjadi usaha turun-temurun.
Perajin mengaku kini makin banyak masyarakat yang meminati produk batik khasnya, pesanan juga makin meningkat sejak beberapa tahun terakhir, terutama setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia.
Pekerja melarutkan malam pada kain batik pada sebuah tungku di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pekerja melakukan pencucian pada batik usai di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Peresmian Kampoeng Batik Jetis merupakan sebuah paguyuban yang dibentuk tanggal 16 April 2008 dengan nama Paguyuban Batik Sidoarjo (PBS) yang kemudian menjadi sebuah koperasi dan Akhirnya pada tanggal 3 Mei 2008 Bupati sidoarjo meresmikan Pasar Jetis sebagai daerah industri batik dan diberi nama ‘Kampoeng Batik Jetis’.
Pekerja menjemur batik di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pekerja menjemur batik di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Mangkuk dan timbangan untuk mengukur ketebalan pewarnaan sebuah kain batik di industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pekerja menunjukkan kain batik yang siap dipasarkan di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Motif-motif batik yang didominasi bentuk flora dan fauna khas Sidoarjo di industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Para pekerja yang membatik di sebuah industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Motif-motif batik yang didominasi bentuk flora dan fauna khas Sidoarjo di industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Motif-motif batik yang didominasi bentuk flora dan fauna khas Sidoarjo di industri rumahan di Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo, Jawa Timur.
Foto dan Teks: Umarul Faruq