Penjaga warisan budaya Tenun Setagen

Mohammad Ayudha

Seorang wanita paruh baya duduk mengoperasikan alat tenun sederhana yang dibuat dari rakitan kayu. Kedua kakinya bergantian menginjak papan kayu sembari kedua tangannya lincah bergerak menarik benang dan menjepit papan saat mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM). 

Sesekali ia menghentikan pekerjaannya untuk sekedar mengurai benang yang kusut dengan jari-jarinya yang mulai mengkerut. Di belakangnya, seorang pria paruh baya memutar roda pemintal. Helai demi helai benang dengan alat pintal tradisional. Keduanya adalah Jinal Jito Hartono dan istrinya Suharti, pasangan penenun tradisional kain setagen. 

Kain tenun setagen adalah kain panjang yang dililitkan ke pinggang sebagai pengunci agar kain atau jarik tidak jatuh. Kain setagen merupakan pelengkap pakaian tradisional yang umumnya dipakai wanita saat berbusana kebaya. Tidak hanya itu, perempuan Jawa meyakini penggunaan setagen bermanfaat untuk merampingkan perut dan membentuk postur tubuh yang mirip dengan korset di era modern. 

Pengendara sepeda motor melaju di depan papan penanda kawasan sentra industri setagen di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Penenun tradisional Mbah Marimin memintal benang dengan alat tradisional saat menyelesaikan pembuatan kain tenun setagen di kawasan Sentra Industri Setagen, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Dalam filosofi Jawa, setagen yang bentuknya memanjang disimbolkan seperti usus yang panjang yang berarti kesabaran. Sama halnya dengan pembuatan setagen itu sendiri yang memerlukan ketekunan dan kesabaran terutama dalam proses pembuatan yang mengandalkan alat tradisional dan tenaga manusia sebagai penggeraknya. 

Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo merupakan desa sentra penghasil kerajinan setagen yang sudah dikenal sejak dulu. Produksi tenun di desa tersebut pernah memasuki masa kejayaannya pada tahun 1966-1980. Namun saat ini kawasan sentra penghasil tenun setagen itu hanya tinggal menyisakan beberapa perajin tenun setagen yang masih bertahan dan semuanya telah lanjut usia. Dengan alat tenun rakitan kayu seadanya atau yang dikenal dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), para perajin itu setiap hari memproduksi setagen. 

Sekitar tahun 1990-an, desa itu menjadi sentra penghasil tenun setagen. Banyak penenun yang menggantungkan hidupnya dari kerajinan itu. Seiring perkembangan zaman satu per satu para perajin terpaksa menutup usahanya karena terus merugi. Penyebabnya yakni semakin berkurangnya permintaan pasar hingga naiknya harga bahan baku benang tapi harga jual kain tenun setagen cenderung stagnan. Pada akhirnya, kerajinan tenun setagen mulai terpinggirkan. 

Tumpukan benang usai dipintal yang akan digunakan untuk produksi kain tenun setagen di kawasan Sentra Industri Setagen, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Pasangan penenun Jinal Jito Hartono (kanan) dan Suharti (kiri) menyelesaikan pembuatan kain tenun setagen dengan alat tradisional di kawasan Sentra Industri Setagen, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Salah satu perajin yang masih bertahan adalah keluarga Jinal Jito Haryono. Meski dengan segala keterbatasan, menurutnya hanya pekerjaan tersebut yang bisa ia lakukan bersama istrinya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di dalam rumahnya terdapat dua alat tenun tradisional. Salah satunya yang biasa dipakai Suharti, sedangkan alat tenun satunya yang sudah tampak usang biasanya dipakai Jinal Jito Hartono, Namun semenjak Jito didiagnosa stroke ia sudah tidak mampu lagi menjalankan alat tenun itu. Ia hanya bisa melakukan pekerjaan ringan seperti memintal benang untuk membantu istrinya membuat kain setagen.  Kedua anaknya enggan meneruskan usaha tenun kedua orang tuanya. Mereka memilih bekerja sebagai buruh pabrik karena upah yang dihasilkan lebih tinggi. 

Minimnya regenerasi penenun di Desa Luwang menjadi masalah bagi para penenun karena mereka memiliki banyak pembeli tetap kain setagen di Solo dan Surabaya. Sebagian penenun memutuskan untuk membeli alat tenun mesin karena sulitnya mencari tenaga penenun kain setagen. 

Kondisi itu juga dialami oleh penenun Mbah Marimin. Kelima anaknya enggan meneruskan usaha keluarga. Bagi Mbah Marimin, menenun setagen kini ia anggap sebagai aktivitas olahraga sekaligus caranya menikmati masa tua. Kelima anaknya sudah hidup mandiri termasuk anak terakhir yang mampu ia sekolahkan hingga menjadi sarjana dari usaha tenun setagen. 

Kertas bersisi catatan jumlah produksi tenun harian yang dihasilkan pekerja ditempel di alat tenun tradisional yang digunakan untuk memproduksi kain tenun setagen di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Penenun mengoperasikan alat tenun tradisional saat menyelesaikan pembuatan kain tenun setagen di kawasan Sentra Industri Setagen, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Jika tidak ada inovasi dan regenerasi, kerajinan tenun setagen di desa itu bisa punah ditelan oleh perkembangan zaman. Suasana kampung yang dulu ramai dengan suara kayu beradu pada alat tenun tradisional akan menjadi hening. Yang tersisa mungkin hanya papan petunjuk di ujung jalan desa yang masih berdiri kokoh. Tanda bahwa desa tersebut dulunya merupakan kawasan sentra penghasil tenun setagen.

 

Penenun menginjak papan kayu untuk menjalankan alat tenun tradisional saat memproduksi kain tenun setagen di kawasan Sentra Industri Setagen, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Tumpukan alat tenun kayu yang sudah lapuk dan tidak terpakai di salah satu rumah warga, Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Pekerja mengoperasikan alat mesin tenun setagen di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Perajin tenun setagen, Marimin, menunjukkan kain tenun setagen yang telah selesai diproduksi di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Seorang wanita mencoba mengenakan kain tenun setagen produksi penenun di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Foto Marimin bersama anaknya saat wisuda dipajang di dinding rumahnya Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Perajin tenun setagen, Suharti, melihat album foto keluarga disela menyelesaikan pembuatan kain tenun setagen, di Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Foto & Teks: Mohammad Ayudha

Editor: Andika Wahyu 

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi