Lakon wayang 'Asal Mula Ikan Barudung Bagu' dipentaskan mengantar doa sesaji pada acara Ruwatan dan Sedekah Laut di kampung nelayan Marunda Kepu, Jakarta Utara yang mengajak agar manusia tidak membuat kerusakan dan semena-mena terhadap alam serta menjaga keseimbangan alam agar tercapai kehidupan yang harmoni dan jauh dari bencana.
Ruwatan mungkin selama ini lebih banyak dikenal di Jawa dan dilakukan sebagai sebuah ritual untuk melakukan tolak bala (menghindari segala bentuk kejahatan atau bahaya). Tetapi sebagai sebuah tradisi, esensi ruwatan memiliki makna persembahan terhadap sesuatu yang sifatnya sakral.
Sampai saat ini keberadaan ruwatan masih dipertahankan dalam konteks pelestarian budaya maupun, barangkali, upacara persembahan yang sebenarnya merupakan keyakinan terhadap kekuasaan yang sifatnya sakral (Ketuhanan Alamiah, tanpa memandang agama sebagai sekedar kepercayaan terhadap kekuatan yang Maha Besar).
JAKARTA.
Segala bentuk harapan akan masa depan yang lebih baik, hasil tangkapan yang lebih bagus, tertuang dalam sesaji dari berbagai hasil bumi dan kepala kerbau, serta doa-doa yang menyemangati mereka dalam perburuan ikan di musim depan. Harapan dan semangat yang terpancar dari para nelayan tampak dari antusiasme mereka mengikuti ritual dan perebutan sesaji yang mereka yakini akan membawa pengharapan yang baik di masa datang. Tradisi ini mereka lakukan tiap tahun agar selalu ingat akan keberlangsungan dan keberlanjutan ekosistem alami lautan, tempat mereka menggantungkan hidup.
Tetapi, kesederhanaan hidup para nelayan ini seringkali tidak mendapatkan tempat yang baik. Justru mereka semakin terpinggirkan dan selalu terdesak oleh kesombongan kaum penguasa yang menginginkan tempat mereka untuk sebuah kota pantai yang indah tanpa memikirkan kelanjutan ekosistem dan lingkungan pesisir.
Teks & foto: Himawan H. Paramayuda