Ritual Kasada berawal dari kisah Joko Seger dan Roro Anteng yang kemudian nama mereka digabung menjadi “Tengger” seperti yang tertuang dalam legenda masyarakat Tengger, bahwa Joko Seger dan Roro Anteng sudah lama menikah, namun tidak juga mendapat keturunan, hingga suatu saat pasangan ini bersemedi di Gua Widodaren, dekat mata air di belakang Gunung Batok. Tak lama kemudian, terdengar suara gaib yang menyatakan bahwa mereka akan mempuyai banyak keturunan. Tapi salah satunya harus dipersembahkan ke kawah Bromo.<br />
Sejak saat itu, mereka dikaruniai anak, sampai berjumlah 24. Namun, mereka tidak sanggup mempersembahkan salah satunya kepada Sang Gaib hingga lahir Ki Kusuma, anak ke-25. Si bungsu ini sangat dicintai oleh orangtua dan saudara-saudaranya. <br />
Suatu hari Joko Seger memindahkan keluarganya dari lereng Bromo ke Gunung Pananjakan untuk bersembunyi dengan harapan tak perlu memenuhi janji. Setelah sepuluh tahun berlalu, saat Ki Kusuma bermain ditemani kakak-kakaknya di sekitar gunung Bromo, tiba-tiba gunung tersebut menggelegar dan lavapun semburat dari kawahnya. Beberapa saat kemudian Roro Anteng dan Joko Seger menyadari bahwa si bungsu telah lenyap. Sambil menangis, mereka mencari ke mana-mana sampai putus asa. <br />
Akhirnya terdengar suara si bungsu dari kawah Bromo, yang menyatakan, dirinya kini tenang dan bahagia. Ia berpesan agar setiap tanggal 14, Bulan Kasada, saat purnama pertama, suku Tengger harus menyisihkan sebagian hasil panen dan ternaknya untuk dijadikan persembahan ke kawah Bromo yang kemudian dikenal dengan ritual Yadnya Kasada. <br />
Kasada hingga kini tidak dapat dipisahkan dengan Gunung Bromo, tidak saja memberikan nuansa magis dalam ritualnya, tetapi lebih dari itu, Kasada dan Bromo, bak putri ayu yang menjadi ikon bagi pariwisata Jawa Timur. <br />
<br />
PROBOLINGGO.
Foto & Teks : Saiful Bahri
PROBOLINGGO.
PROBOLINGGO.