Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin saat ini bukan lagi berada dipersimpangan jalan melainkan nyaris menemui jalan buntu. Pasalnya dana hibah dari pemprov DKI kini tinggal Rp50 juta saja per tahun, padahal tahun-tahun sebelumnya bisa menerima hingga Rp500 juta. Tentu saja tak cukup untuk membiayai operasional perpustakaan, apalagi memenuhi kesejahteraan 14 orang pegawainya.. <br />
Sesungguhnya PDS. HB Jassin berpotensi menjadi jendela sastra Indonesia dengan koleksi ribuan dokumentasi sastra sejak 1932 termasuk nama-nama besar seperti Chairil Anwar, Motinggo Busye, serta Sutardji Calzoum Bachri. Namun akibat seretnya dana, kini , PDS. HB Jassin mengalami kesulitan dalam mengelola koleksinya. Meski pernah menerima bantuan dari sebuah perusahaan minuman ringan untuk memindai koleksi sastra ke dalam bentuk digital, namun saat bantuan berakhir pada 2004, berhenti pula kegiatan pengolahan koleksi perpustakaan.. <br />
Menurut Endo Senggono, Pengelola yang sudah 20 tahun lebih berkutat di PDS. HB. Jassin, mesti bantuan dari sejumlah institusi masih mengalir, dalam bentuk komputer serta alat pemindai, namun masih belum mencukupi jika mengacu pada cita-cita digitalisasi koleksi sastra.<br />
Digitalisasi koleksi sastra memang sebuah keharusan untuk menyelamatkan koleksi yang tak ternilai itu, apalagi sekarang makin banyak koleksi yang rusak akibat proses penggandaan baik melalui mesin fotokopi maupun disalin secara manual oleh para mengguna. Dengan digitalisasi koleksi sastra tersebut nantinya akan memudahkan orang yang membutuhkan serta menjaga kualitas dokumen sastra sebagai artefak sejarah.<br />
Dana, teknologi, serta sumber daya manusia memang dibutuhkan untuk menyelamatkan aset sejarah ini. Namun sebelum tiga hal tersebut, satu hal yang dapat menjadi jalan baru bagi PDS. HB. Jassin, yaitu kepedulian. <br />
Teks&Foto : Rosa Panggabean<br />