PENDIDIKAN UNTUK PENGUNGSI ANAK

FB Anggoro

Setiap konflik selalu menyebabkan kerugian paling besar bagi anak-anak yang terpaksa harus menjadi pengungsi. Mereka adalah korban perang yang tidak berkesudahan di negara-negara di Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika, yang menimbulkan gelombang pengungsi masuk ke Indonesia.

Meski belum meratifikasi Konvensi 1951 mengenai pengungsi, Indonesia telah lama menerima pengungsi karena alasan kemanusiaan. Bahkan, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Pengungsi Dari Luar Negeri.

Berdasarkan data UNHCR, atau lembaga PBB yang mengurus pengungsi, ada lebih dari 14.000 orang pengungsi yang kini berada di Indonesia. Saat ini ada 1.176 orang imigran di Pekanbaru, Riau yang sekitar 70 persen berstatus pengungsi dan sisanya masih dalam proses mencari suaka. Mereka paling banyak berasal dari Afghanistan, yakni mencapai 930 Orang, sisanya dari Irak, Iran, Palestina, Sudan, Myanmar Rohingnya, Somalia, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, serta dari Yordania dan Suriah.

Seorang pengungsi anak melihat ke luar jendela rumah komunitas di Kota Pekanbaru, Riau.

Sejumlah pengungsi anak berdiri di depan pintu ruang kelas di rumah komunitas di Kota Pekanbaru, Riau.

Sekitar 239 dari 1176 pengungsi dan pencari suaka di Pekanbaru adalah anak-anak yang berumur di bawah 17 tahun. Mereka rata-rata sudah tinggal 4-5 tahun, namun belum kunjung mendapatkan persetujuan status warga negara dari negara tujuan.

Sementara itu, negara tujuan seperti Australia yang sebenarnya sudah meratifikasi Konvensi Pengungsi, makin rapat menutup pintu bagi pengungsi dari negara-negara Islam. Kanada dan Selandia Baru, sangat selektif karena hanya menerima pengungsi yang muda dan punya keahlian khusus.

Hidup anak-anak pengungsi kini lebih baik di Indonesia, jauh dari perang dan bisa bebas bermain menikmati masa kanak-kanak mereka. Namun, kepastian mendapat akses ke pendidikan masih belum sepenuhnya mereka dapatkan.

Seorang ibu dan anak-anak pengungsi di rumah komunitas untuk pengungsi dan pencari suaka di Kota Pekanbaru, Riau.

Sejumlah pengungsi anak bermain di rumah komunitas untuk pengungsi dan pencari anak di Kota Pekanbaru, Riau.

Pendidikan untuk pengungsi anak hingga kini masih seadanya, karena lebih banyak dilakukan sukarela oleh sesama pengungsi yang punya latar belakang di dunia pendidikan atau guru, dengan menggunakan salah satu ruang di dalam rumah komunitas sebagai kelas, yang difasilitasi IOM (International Organization for Migration).

Sudah saatnya semua pihak lebih memperhatikan pendidikan untuk pengungsi anak. Status pengungsi yang mereka sandang seharusnya tidak serta merta menghapus hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak demi masa depan mereka. Karena tidak ada satu pun anak di dunia ini yang bisa memilih seperti apa dan dimana dia dilahirkan.

Seorang pengungsi menjadi guru secara sukarela untuk pengungsi anak di rumah komunitas di Kota Pekanbaru, Riau.

Papan tulis di kelas untuk pengungsi di rumah komunitas di Kota Pekanbaru, Riau.

Seorang pengungsi anak belajar menggunakan buku pelajaran berbahasa Arab gundul di rumah komunitas di Kota Pekanbaru, Riau.

Sejumlah pengungsi anak dari Afghanistan berpose setelah belajar di rumah komunitas untuk pengungsi dan anak di Kota Pekanbaru, Riau.

Suasana kelas di rumah komunitas pengungsi di Kota Pekanbaru, Riau.

Seorang pengungsi anak memperhatikan ibu yang membuat Naan, kue khas Afghanistan, di rumah komunitas untuk pengungsi dan pencari anak di Kota Pekanbaru, Riau.

Siluet gerbang Rumah Detensi Imigrasi di Kota Pekanbaru, Riau.

Foto dan Teks: FB Anggoro

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi