Setiap menyambut perayaan Idul Fitri, selalu terdengar dentuman meriam karbit yang menggelegar di Kota Pontianak. Macam ragam ukuran dan ornamen meriam karbit yang berjajar rapi di sejumlah titik perkampungan di tepian sungai Kapuas. Semakin keras dentuman meriam yang terbuat dari gelondongan kayu belian tersebut, makin riuh rendah sorak sorai warga setempat. Suasana hingar bingar itu hanya dapat dijumpai di Kota Pontianak, kota khatulistiwa Ibukota kalbar. <br />
Tradisi meriam karbit bermula sejak pertama kali berdirinya Kota Pontianak pada 23 Oktober 1771 atau 14 Radjab Hijriah. Alkisah suatu ketika Sultan Syarif Abdurrachman Alqadrie ingin membangun kerajaan, untuk menentukan lokasi kerajaan itu, ia memerintahkan para pengawalnya untuk menembakkan peluru dari meriam sebanyak dua kali. Kemudian beserta para pengawal, ia menyusuri Sungai untuk menemukan jatuhnya dua buah peluru itu. Dari hasil penelusuran, Sultan tiba di suatu tempat yang kini dikenal sebagai Kampung Beting, kawasan yang berada tepat di tepian Sungai Kapuas.<br />
Namun ternyata di tempat tersebut terdapat banyak kuntilanak. Karena kerap mendapat gangguan selama proses pembangunan masjid dan keraton, Sultan Syarif kembali memerintahkan para pengawal untuk mengusirnya dengan membunyikan meriam. Bermula dari kejadian ini, maka nama Pontianak pun tercipta, Pontianak memiliki arti ‘kuntilanak’.<br />
PONTIANAK.
PONTIANAK.
Hingga sekarang, tradisi membunyikan meriam karbit saat Hari Raya Idul Fitri yang dilakukan secara berkelompok di sepanjang tepian Sungai Kapuas dengan posisi saling berseberangan tersebut, masih terus dipelihara oleh warga setempat <br />
<br />
Foto & narasi : Jessica Wuysang<br />
PONTIANAK.
PONTIANAK.
PONTIANAK.
PONTIANAK.