Inilah kami, orang-orang yang hidup di daerah perbatasan, di pulau bernama Miangas dan pulau Marore. Kami hidup di pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina. Ya, kami lah yang tinggal setiap hari di salah satu garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia. <br />Tempat kami luar biasa indah, bak cerita-cerita tentang surga. Kami hidup di mana warna air laut sama birunya dengan warna langit yang menaungi kami setiap hari, meski luas pulau yang kami tinggali tak lebih dari lima kilometer persegi. <br />Kebanyakan dari kami adalah nelayan, hanya saja tidak tahu harus menjual ikan tangkapan ke mana. Kami tidak punya kapal yang canggih atau mesin pendingin untuk menjaga ikan yang kami tangkap tetap segar agar bisa dijual. Akhirnya kami pun mengkonsumsi ikan-ikan itu sendiri, kami tangkap secukupnya untuk makan sekeluarga. <br />Kami hidup di pulau-pulau kecil yang jarak tempuhnya hingga dua hari dengan kapal ke ibukota Kabupaten bernama Melonguane atau yang kami sebut kota terdekat. Kapal itu pun hanya dua minggu sekali berlayar ke tempat kami. <br />Dengan transportasi yang begitu sulit, tak heran kami harus membeli premium bersubsidi seharga 15 hingga 25 ribu rupiah per liter. Pasokan minyak tanah juga tak sampai ke tempat kami, sehingga kami harus memasak dengan kayu bakar. Karena jarak pulau kami ke kota terdekat terpisah laut dengan jarak 174,088 kilometer, kami pun terbiasa dengan harga-harga barang yang mahal. Maka tak heran , di pasar-pasar koin-koin rupiah kurang diminati karena tidak ada lagi barang dengan harga di bawah seribu rupiah.<br />Inilah sedikit cerita dari kami, orang-orang yang hidup serba terbatas di sebuah pulau perbatasan. <br />
Adelheid (74) ialah cucu dari orang pertama yang berada di Marore
MIANGAS.
<br />Foto dan Teks : Rosa Panggabean<br />