Ratusan pemuka adat suku Dayak Kenyah berkumpul dan bermusyawarah di balai adat di Desa Long Nawang, Malinau, Kalimantan Timur, yang hanya berjarak sekitar 50 kilometer dari perbatasan Serawak, Malaysia. Mereka berkumpul untuk membicarakan adat istiadat dan budaya Dayak Kenyah, termasuk tarian perang yang merupakan warisan leluhurnya. <br />
?<br />
Di depan balai adat tersebut, terdengar lantunan musik khas mengiringi para penari ?gerak sama? yang diperagakan kaum perempuan. Tari tersebut sebagai sambutan bagi para ksatria yang pulang dari medan perang. Ketika musik bass dan gendang (sampek) semakin dikencangkan, para ksatria tersebut berteriak kencang dan mulai ikut menari. Para kesatria tersebut menari tarian perang lengkap dengan pakaian perang, seperti hiasan rompi bulu kambing (sebunung), perisai (klempit), celana terbuat dari kulit (abet), hiasan kepala (bluko), pedang, dan gelang di pangkal lengan (seleng).<br />
?<br />
Para kesatria menari mengelilingi para kesatria lainnya yang sedang beradu ketangkasan perang dan yang kalah akan mundur digantikan kesatria lainnya. Tari perang merupakan gambaran cara berperang para leluhur.? Tarian tersebut dilakukan satu tahun sekali dengan mengumpulkan seluruh pemuka adat dari seluruh Kaltim, mulai dari kecamatan Kayan Hulu, Kayan Hilir, Kayan Selatan, dan Sungai Boh. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian budaya dan menjaga persatuan suku Dayak Kenyah, khususnya persatuan Indonesia.<br />
?<br />
Suku Dayak Kenyah di daerah tersebut merupakan garda terdepan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka adalah halaman depan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Mungkin tarian perang tersebut hanya tradisi dan budaya leluhur, tapi itu menandakan bahwa mereka selalu siap mempertahankan NKRI meski 90 persen bahan makanan pokok mereka disuplai dari Malaysia.<br />
?<br />
?<br />
foto & teks : Yusran Uccang