Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya merenggut langit biru karena ?jerebu? (bahasa Melayu dari asap) bagaikan pembunuh dalam senyap. Ketika asap sudah memenuhi udara, menjelma selimut bau menyengat, tidak banyak pilihan bagi sebagian masyarakat selain mencoba bertahan sebelum akhirnya tumbang.
Pada tahun 2019 kebakaran hutan dan lahan atau karhutla sangat massif melanda Sumatera dan Kalimantan. Ada prediksi karhutla tahun ini adalah sejarah kelam pada 2015 yang terulang kembali, ketika kerugian akibat karhutla saat itu berdasarkan riset Bank Dunia mencapai Rp221 triliun. Nilai itu dua kali dibandingkan kerugian akibat tsunami Aceh.
Di Provinsi Riau, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau memperkirakan daerah berjuluk ?Bumi Lancang Kuning? ini berpotensi mengalami kerugian materiil sedikitnya Rp50 triliun akibat dampak karhutla tahun 2019. Kerugian tersebut berasal dari terganggunya aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, dan kerugian waktuÿdelayÿdari aktivitas penerbangan.
Anak berjalan mengenakan masker di tengah kabut asap di Rimbo Panjang Kabupaten Kampar, Riau.
Masjid Raya An-Nur saat kabut asap karhutla di Kota Pekanbaru, Riau, pukul 08.46 WIB, 10 September 2019.
Sesungguhnya dampak buruk karhutla yang terbesar adalah pada tubuh manusia. Jerebu karhutla mengandung partikel dengan ukuran mikro dan nano yang sangat berbahaya. Dampak jangka pendeknya bisa menyebabkan iritasi mata, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), pneumonia, asma, batuk dan bersin-bersin hingga sesak nafas. Selain itu, polutan di dalam jerebu juga bisa langsung masuk ke paru-paru dan menurunkan fungsi organ vital tersebut.
Studi oleh peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) menyebut, sedikitnya 90 ribu orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat kabut asap karhutla pada 2015. Jerebu dari Indonesia berdampak serupa di Singapura dan Malaysia, tercatat sekitar 10 ribu kematian dini di negeri jiran itu.
Hasil penelitian teranyar di jurnal Nature Communication pada 17 September 2019 menyebut dampak bahaya jerebu bagi janin dikandungan ibu hamil. Riset oleh peneliti Universitas Hasselt dan Universitas Katolik Leuven, Belgia, membuktikan bahwa karbon hitam di kabut asap terhirup ibu hamil sampai ke plasenta.
Seorang bocah membasuh mukanya dengan air mineral karena mengalami iritasi mata akibat kabut asap di Kabupaten Kampar.
Seorang balita menangis saat dirawat karena sesak nafas di posko kesehatan korban terdampak kabut asap karhutla di Pekanbaru.
Semakin sering ibu hamil terpapar kabut asap, maka semakin besar ancaman keguguran karena janin bisa ikut menghirup partikel karbon hitam yang meracuni plasenta.
Masyarakat di daerah rawan karhutla dipaksa menghirup udara yang berbahaya. Sudah lebih dari sebulan jerebu menyelimuti Kota Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau, yang melumpuhkan aktivitas pendidikan dari jenjang usia dini hingga universitas. Anak-anak ketinggalan pelajaran, kehilangan masa kanak-kanak karena bermain di luar rumah jadi tidak aman, dan warga terpaksa mengungsi.
Mengatasi karhutla dengan efek jerebunya, dibutuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan Pemerintah pusat dan daerah.
Bayi menderita ISPA akibat kabut asap menghirup oksigen dari tabung dengan selang ke hidungnya di RSUD Petala Bumi, Pekanbaru.
Sejumlah ibu bersama anak-anak mengungsi di salah satu posko kesehatan korban terdampak kabut asap karhutla di Pekanbaru.
Tanpa keseriusan penanganan hal tersebut, masyarakat dan generasi muda akan menjadi korban. Pembakaran hutan dan lahan adalah kejahatan lingkungan sekaligus bencana kemanusiaan, yang merusak generasi mendatang Indonesia.
Sejumlah anak penjual koran menggunakan masker saat bermain di tengah kabut asap Kota Pekanbaru.
Beragam cara anak-anak melindungi diri dari kabut asap karhutla yang menyelimuti Provinsi Riau pada 2019.
Sebuah masker tertinggal di kelas kosong saat sekolah diliburkan karena kabut asap karhutla di Pekanbaru.
Foto & Teks oleh FB Anggoro
Editor : Fanny Octavianus