Yaaaa laaaa laaaaa yaaaa laaaaaaa laaaaaaaa…
Suara lantang terdengar dari mulut para penari saat menyambut kedatangan sejumlah tamu. Penari perempuan mengenakan pakaian warna warni berselendang oranye dan kuning sementara prianya berikat kepala dengan parang terhunus.
Hari itu masyarakat kampung Wainyapu, Sumba Barat Daya, mendirikan tujuh rumah adat, sebuah kejadian luar biasa karena ratusan orang, baik keluarga dan masyarakat dari berbagai kampung hadir untuk bergotong royong.
Rumah adat berbentuk menara dengan ornamen tanduk dan tengkorak babi yang dikorbankan pada upacara. Masyarakat Wainyapu patuh terhadap aturan adat, mereka penganut “Merapu”, sebuah kepercayaan terhadap arwah leluhur.
Sejumlah lelaki menebaskan parang, menghentakan kaki, para perempuan terus berteriak memberi semangat ketika sejumlah warga mulai menaikkan tiang bambu pada pembangunan menara atap rumah.
Membangun rumah adat harus melewati serangkaian upacara yang rumit, bahkan bahan bangunan pun tidak boleh sembarangan. Rumah menara setinggi 20 meter tersebut umumnya terbuat dari bambu bulat dengan empat tiang penyangga utama dan atapnya harus terbuat dari alang-alang. Keseluruhan bangunan rumah tanpa menggunakan paku tetapi memakai tali dari pohon.
Siang itu, menara atap rumah telah berdiri teriakan terus bergemuruh sebagai ungkapan rasa bahagia dan prosesi pembangunan dihentikan sementara, empat babi pun kembali dikurbankan untuk dibagikan kepada para pekerja. Karena menurut adat istiadat setiap tahapan prosesi memerlukan hewan kurban, tak heran biaya yang diperlukan untuk sebuah rumah adat dapat mencapai ratusan juta rupiah. Tidak murah memang, tetapi rumah tersebut akan menjadi kebanggaan masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai leluhur.
Yaaaa laaaa laaaaa yaaaa laaaaaaa laaaaaaaa…………..
Suara itu masih terdengar seperti leluhur mereka dulu, semangat gotong royong pun belum pupus tertelan jaman. Sampai kapan kah nilai yang menjadi akar budaya bangsa Indonesia itu bertahan, bila kita semua peduli akan kearifan lokal yang memang seharusnya dijaga.
Teks & foto : Saptono