“Waaa...Waaa...Waaa...Waaa....Waaa....” teriak seorang kepala suku mengiringi sejumlah warga asli suku pedalaman Papua yang berlari memasuki lapangan.<br />
<br />
Ratusan warga asli Suku Dani, Suku Yali dan Suku Lani turun gunung berkumpul selama tiga hari lengkap dengan atribut khas dan identitas sukunya masing-masing seperti kombou (busana jerami), koteka, tombak (sege), parang, busur dan anak panah mengikuti Festival Budaya Lembah Baliem ke-24 pada 12-14 Agustus lalu, di Desa Wosi sekitar 27 kilometer dari pusat kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.<br />
<br />
Festival ini menyajikan hidangan utama berupa atraksi perang-perangan antar suku sebagai lambang kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Cerita dimulai dengan skenario pemicu perang seperti penculikan warga, pencurian babi atau penyerbuan ladang yang baru dibuka. Adanya pemicu ini menyebabkan suku lainnya harus membalas dendam sehingga penyerbuan pun dilakukan. Atraksi ini tidak menjadikan balas dendam atau permusuhan sebagai tema tetapi justru bermakna positif yaitu “Yogotak Hubuluk Motog Hanoro” yang berarti Harapan Akan Hari Esok yang Harus Lebih Baik dari Hari Ini.<br />
<br />
Selain atraksi perang-perangan, festival ini juga menyajikan tari-tarian tradisional, upacara bakar batu serta balap babi. Berbagai kerajinan tangan seperti noken (tas tradisional Papua) pun dipamerkan dalam ajang tersebut. <br />
<br />
Foto dan Teks: Widodo S. Jusuf